Rabu, 26 Juni 2013

BALI



Bali Dari Masa ke Masa



Hampir semua penduduk didunia ini pasti mengenal Bali dengan baik. Bali merupakan suatu pulau yang tidak dapat dipungkiri keunikannya dan keindahannya yang bersumber dari kebudayaan setempat berpadu dengan keindahan alamnya. Nama pulau ini mungkin bisa dikatakan jauh lebih masyur dibandingkan dengan nama Indonesia sendiri yang sebenarnya merupakan induk dari pulau ini.Keunikan dan keindahan Bali sudah tersebar sejak jaman nenek moyang. Hingga kini Bali masih memancarkan pesonanya, walau pancaran pesonanya kini jauh berbeda dengan pancaran pesona masa lampau. Dulu Bali terkenal dengan seni budayanya yang sakral dan keutuhan budaya leluhur yang masih ditanam sempurna dan diaplikasikan dalam norma kehidupannya. Lihat saja, sebagian besar warga Bali pedesaan masih menanamkan secara ketat budaya leluhurnya dengan sistem-sistem yang ada. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kini budaya leluhur tersebut sudah mulai terkikis dengan kemoderenan jaman. Kebudayaan yang kental tersebut dianggap sebagai suatu aset yang bernilai jual yang berharga sehingga berdatanganlah para pelancong dari seluruh pelosok dunia. Lambat laun Bali semakin terkenal seperti kini. Namun keterkenalannya itu mulai merambah ke berbagai aspek, bukan hanya di budaya saja tetapi merambah ke aspek hiburan. Beragam fasilitas hiburan yang mengusung tema kebudayaan yang modern mulai merambah Bali sehingga jujugan para pelancong kini semakin bergeser kearah hiburan dan eksplorasi alam. Lihat saja, seminyak-kuta dan banyak lagi pesisir Bali kini menggeliat menjadi icon wisata di Bali. 




Kawasan hiburan dan pusat perbelanjaan yang berupaya mengusung tema seni juga menjadi jujugan pelancong. Pelancong menjadi sangat konsumtif di Bali dan Balipun menggeliat dan mulai terlena dengan icon wisata seperti itu yang dianggap menguntungkan. Tanpa disadari, geliat semacam itu justru membuat kita sebagai pelancong seakaan terlena dengan fasilitas hiburan yang ditawarkan tanpa memandang aspek budaya dan sejarah setempat yang sebenarnya merupakan awal mula dari ketenaran Bali itu sendiri. Kalau saya ambil contoh simple, ketika pelancong belanja di pasar seni sukawati kebanggaan yang mereka dapatkan adalah : seberapa murah harga barang seni yang berhasil mereka tawar tanpa mau tahu asal,nama dan jenis barang seni tersebut. Serta tanpa menghiraukan seberapa sulit kehidupan para pengrajin seni yang merupakan pelestari budaya itu menciptakan hasil karya seni tersebut. Pelancong seakan-akan datang keBali bukan karena budayanya (seninya) tetapi karena kemurahan harganya. Mengenai budaya dan sejarah budaya itu sendiri, tidak ada yang mau tahu..pokoknya murah-pokoknya senang dan pokoknya sudah ke Bali. Padahal, hal yang paling penting yang harus diketahui dari Bali adalah budayanya dan sejarah budaya. Karena budaya itulah yang merupakan awal mula dan sumber kemajuan Bali seperti sekarang ini. 

Sebenarnya, budaya dan sejarah budaya Bali sudah dilirik oleh banyak penulis dan peneliti dari luar negeri sejak jaman dahulu. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang memilih untuk menetap di Bali dan menjadi bagian dari keluarga Bali. Salah satunya adalah Ketut Tantri, perempuan bernama asli Muriel Stuart Walker ini merupakan warga negara Amerika Serikat kelahiran Inggris, seorang seniman yang suatu siang di tahun 1932 menonton film, “Bali-The Last Paradise” di Hollywood. Begitu terkesannya, dia langsung jatuh cinta dengan Bali dan bertekad memulai hidup sebagai artis bohemian di sana. Menurut cerita dalam bukunya Revolt in Paradise nama Bali Ketut Tantri dia dapatkan dari keluarga angkatnya di Bali.Selain itu, film dokumenter tentang kebudayaan klasik Bali yang terkenal dengan tariannya dan gamelan cepatnya juga pernah dibuat pada tahun 1910 oleh pemerintahan Belanda. Film dokumenter lain tentang Bali kuno juga bisa diliihat melalui Youtube. Selain dianggap unik pada tarian dan gamelannya, keunikan budaya Bali lainnya adalah pada sistem kemasyarakatan (desa adat) dan arsitektur rumah di masing-masing desa. Beberapa buku terbitan luar negeri seperti Balinese Character: A Photographic Analysis dan Margaret Mead, Gregory Bateson, and Highland Bali: Fieldwork Photographs of Bayung Gede (1936-1939) yang mengusung tema tentang kondisi pedesaan di Bali pernah diterbitkan. Beberapa buku dan hasil penelitian dalam maupun luar negeri tentang budaya Bali juga banyak diterbitkan kemudian. Namun sayangnya hanya segelintir orang yang menyadari dan memahami kebudayaan-kebudaan tersebut.Padahal, kebudayaan tersebutlah yang merupakan cikal bakal dari perkembangan suatu wilayah. Perkembangan budaya Bali yang kita ketahui hingga kini tidak lepas dari campur tangan penduduk Bali itu sendiri yang kebanyakan membentuk suatu kelompok desa. Desa-desa itulah yang kemudian berkembang dan menciptakan suatu kebudayaan-kebudayaan yang memiliki ciri berbeda pada masing-masing desa. 

Arsitektur rumah adat di desa-desa diBali juga merupakan salah satu unsur budaya yang unik yang memiliki ciri khas tersendiri.Saya mengambil contoh tipe rumah saya di Bali. Berbeda dengan tipe rumah hunian modern masa kini, rumah saya masih menggunakan aturan-aturan masa lampau daerah setempat. Beberapa bangunan tersebar di petak tanah yang luas yang dibagi menjadi bangunan di masing-masing sisi mata angin. Sehingga di rumah saya terdapat Bale Daje (petak bangunan yang berada di Utara), Bale Dauh, Bale Delod, Bale dangin, Paon (Dapur), Sanggah (Tempat ibadah) dan Tebe (kebun luas di belakang rumah). Beberapa kawasan lain di Bali memiliki tipe rumah yang berbeda dengan tipe rumah di desa saya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh wilayah dan akar budaya yang berkembang di wilayah tersebut yang bersumber pada budaya desa tradisional Bali. Terdapat banyak desa tradisional di Bali yang tersebar di seluruh wilayah Bali. Desa tradisional tersebut hingga kini masih ada dan masih menggunaan sistem-sistem tradisional walau beberapa diantaranya sudah agak tergerus zaman. 

Desa Bali Aga (Bali Pegunungan) adalah desa tradisional tertua di Bali. Penduduk aslinya merupakan nenek moyang orang Bali yang berasal dari keluarga besar Austronesia dan diperkirakan telah masuk ke Bali dua abad sebelum masehi (Mulono,1978). Dalam perkembangan berikutnya barulah masuk orang imigran dari Jawa yang melahirkan tipe desa Apanaga. Orang-orang Bali yang termasuk kedalam kelompok Bali Aga adalah mereka yang berdiam di Pulau Bali mendahului orang Bali Apanaga. Ini dimaksudkan untuk memberi keterangan tentang orang Bali dengan kebudayaan Pra-Hindu dan orang Bali dengan kebudayaan Hindu. Perbedaan ini terutama dari faktor geneologis dan faktor budaya. Perbedaan geneologis yaitu orang Bali Aga adalah termasuk kedalam orang Bali Apanaga ditambah dengan orang Bali keturunan Mongoloid sedangkan orang Bali Apanaga atau orang Bali dataran Jawa Hindu yang datang ke Bali melalui persebaran penduduk ekspedisi seperti ekspedisi Singasari tahun 1284 M dan ekspedisi Gajah Mada tahun 1343 M (artikel terkait). Menurut penelitian beberapa ahli, masyarakat Bali Aga tersebar diseluruh Bali umumnya berada didaerah pegunungan seperti di Kintamani yaitu Desa Trunyan, Desa Batur, Desa Sukawana, Desa Kedisan, Desa Kintamani, Desa Bayung Gede, Abang, Dausa, Manik Liyu dan lain-lain. Beberapa sumber yaitu berupa prasasti menyebutkan keberadaan Desa Bali Aga di Kintamani. Prasasti-prasasti tersebut yaitu : Prasasti Sukawana AI, Prasasti Sembiran, Prasasti Sabatin AI, Prasasti Turunan Trunyan, Prasasti Bwahan. Semua Prasasti tersebut dapat menjelaskan tentang kondisi Bali Aga dan didukung pula dari beberapa bukti-bukti peninggalan kebudayaan, ciri-ciri kebudayaan dan aspek faktor budaya lainnya dari masyarakat Bali Aga tersebut. 

Beberapa desa tradisional yang keturunannya merupakan penduduk asli pulau Bali masih tersebar di pulau tersebut. Beberapa diantaranya adalah Desa Bayung Gede, Desa Adat Pengotan, Desa Penglipuran, Desa Tradisional Bugbug, Desa Adat Tenganan,Desa adat Bungaya, Desa Adat Tengkudak, Desa adat Taro dan Desa adat Pinggan. Desa-desa tersebutlah merupakan cikal bakal kehidupan Bali yang berbudaya serta beradat istiadat unik yang sebagian diantaranya masih ada hingga kini. Penduduk desa tersebutlah yang kemudian beasimilasi dan berpadu dengan kebudayaan penduduk Jawa yang berekspedisi ratusan tahun lampau menghasilkan suatu kebudayaan yang luhur seperti yang dapat kita nikmati di Bali pada masa kini. Kebudayaan yang beragam tersebutlah yang harus kita lestarikan dan jaga agar tidak punah tergerus oleh budaya modernisasi yang berkiblat pada negara Barat. Karena Budaya asli itulah yang menjadi alasan kenapa Bali bisa seterkenal seperti saat ini. 

Bali yang kini menjelma menjadi Bali yang modern pasti berawal dari Bali masa Kuno,Bali yang lampau yang sebenarnya masih bisa kita nikmati kini kalau kita bisa menghormati dan melestarikan akar budaya tersebut. Bali tidak tiba-tiba menjadi sebuah pulau gemerlap nan modern seperti masa kini, tetapi Bali bermula dari suatu sejarah kebudayaan lampau yang setidaknya harus kita hormati karena bagian dari kekayaan budaya negara kita Indonesia. 

Bali dengan masyarakat dan budaya yang unik dipastikan bukanlah satu wilayah migrasi yang baru tumbuh. Keseharian masyarakat Bali dengan budaya yang senantiasa menampilkan warna budaya lokal menunjukkan bahwa perjalanan Bali telah melewati alur sejarah yang panjang. Berbagai temuan arkeologi di berbagai wilayah Bali membuktikan perjalanan panjang Pulau Bali berbarengan dengan wilayah dan negara lain.


Sebagaimana dengan wilayah lain di Nusantara, masa-masa awal kehidupan bermasyarakat di Bali dikelompokkan sebagai jaman pra sejarah. Pada masa pra sejarah ini tidak ditemukan catatan-catatan yang menggambarkan tatanan kehidupan bermasyarakat. Yang menjadi acuan adalah temuan berbagai peralatan yang dipergunakan sebagai sarana menopang kelangsungan hidup manusia Bali ketika itu.
Dari berbagai temuan masa pra sejarah itu, jaman pra sejarah Bali - sebagaimana dengan kebanyakan wilayah lain - meliputi tiga babak tingkatan budaya. Lapis pertama adalah masa kehidupan yang bertumpu pada budaya berburu. Secara alamiah, berburu adalah cara mempertahankan kelangsungan hidup yang amat jelas dan mudah dilakukan. Dengan alat-alat sederhana dari bahan batu, yang peninggalannya ditemukan di daerah Sembiran di Bali utara dan wilayah Batur, manusia Bali diperkirakan mampu bertahan hidup. Peninggalan peralatan sejenis yang lebih baik, dengan menggunakan bahan tulang, ditemukan pula di gua Selonding di daerah Bulit, Badung Selatan. Ini menunjukkan bahwa masa berburu melewati masa cukup panjang disertai dengan peningkatan pola pikir yang makin baik.

Masih berdasar pada temuan benda-benda purbakala, tergambar bahwa Bali mulai meninggalkan masa berburu dan masuk pada masa bercocok tanam. Kendati sudah memasuki tatanan hidup yang lebih terpola pada masa bertanam, kelompok manusia Bali pada masa itu dipastikan hidup secara berpindah. Berbagai peninggalan sejenis ditemukan sebagai temuan lepas di berbagai wilayah Bali barat, Bali utara, dan Bali selatan. Tatatan hidup dengan permukiman diyakini sebagai peralihan tatanan hidup manusia Bali dari jaman pra sejarah ke jaman sejarah. Peninggalan purbakala berupa nekara perunggu dan berbagai barang dari bahan logam di daerah Pejeng Gianyar, membuktikan bahwa kala itu telah terbentuk tatanan masyarakat yang lebih terstruktur.

Berbarengan dengan peralihan jaman pra sejarah ke jaman sejarah, pengaruh Hindu dari India yang masuk ke Indonesia diperkirakan memberi dorongan kuat pada lompatan budaya di Bali. Masa peralihan ini, yang lazim disebut sebagai masa Bali Kuno antara abad 8 hingga abad 13, dengan amat jelas mengalami perubahan lagi akibat pengaruh Majapahit yang berniat menyatukan Nusantara lewat Sumpah Palapa Gajah Mada di awal abad 13. Tatanan pemerintahan dan struktur masyarakat mengalami penyesuaian mengikuti pola pemerintahan Majapahit. Benturan budaya lokal Bali Kuno dan budaya Hindu Jawa dari Majapahit dalam bentuk penolakan penduduk Bali menimbulkan berbagai perlawanan di berbagai daerah di Bali. Secara perlahan dan pasti, dengan upaya penyesuaian dan percampuran kedua belah pihak, Bali berhasil menemukan pola budaya yang sesuai dengan pola pikir masyarakat dan keadaan alam Bali.

Model penyesuaian ini kiranya yang kemudian membentuk masyarakat dan budaya Bali yang diwarisi kini menjadi unik dan khas, menyerap unsur Hindu dan Jawa Majapahit namun kental dengan warna lokal.

Pola perkembangan budaya Bali di masa-masa berikutnya, jaman penjajahan dan jaman kemerdekaan, secara alamiah mengikuti alur yang sama yaitu menerima pengaruh luar yang lebur ke dalam warna budaya lokal.


Untuk informasi lebih lanjut hubungi :

Surabaya ( Pusat )
Munandar tlp (031) 60941066
                   081216654703
         email : lukitohadi72@gmail.com

Perwakilan Bali
Bagus Prasetya  tlp: 03618637078
                              08113934789
                   pin BB 29D26F5B
                   email : amandalegian@yahoo.co.id


1 komentar:

  1. Wow, toketnya boljug: pasti dipegang & di-remes2nya jg bikin terangsang. Walo sm2 cewek, sy jg nafsu ngeliatnya. Sy jd penasaran apkh ada yg prnh megang & nge-remes2 tetek itu.

    BalasHapus